Breaking News

FATWA PESANAN (SHOLAT JUMAT DI JALAN)

pada kesempatan kali ini penulis mencoba menulis kembali sebuah tulisan yang sangat menarik yang penulis dapatkan di sebuat buletin yang biasa penulis dapat di hari jumat. walaupun sudah terlambat buat penulis untuk menulis ulang informasi ini, tapi mudah-mudahan bermanfaat dan menjadi penambah ilmu buat pembaca.
Isi tulisan nya seperti ini, simak baik-baik…. dan selamat membaca.

Fatwa sholat Jumat di jalan tiba-tiba menjadi isu yang ramai diperbincangkan, dengan rencana awal gelar sajadah oleh jutaan umat Islam berupa agenda shalat Jum’at dan doa untuk keselamatan NKRI di sepanjang Jl. Sudirman hingga Jl. Thamrin yang berpusat di Bundaran Hotel Indonesia Jakarta pada 2 Desember 20016.
“Fatwa” semacam ini antara lain dilontarkan oleh Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Ahmad Mustofa Bisri, yang akrab disapa Gus Mus, dan wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU Abdul Ghazali di www.nu.or.id, Selasa (22/11/2016) dalam artikel berjudul “Ini Pandangan Fiqih PBNU Soal Shalat Jumat di Jalanan”.
Akhirnya dari perundingan antara GNPF-MUI dan Polri, didapatkan poin-poin kesepakatan antara lain penetapan lokasi. “GNPF-MUI dan Polri sepakat bahwa dalam Aksi Bela Islam III akan digelar zikir dan doa keselamatan negeri, tausiah, dan shalat Jumat di lapangan Monas dan sekitarnya”, ujar Habib Rizieq dalam jumpa pers di kantor MUI, Senin (28/11/2016).
Tanggapan Ulama NU
Jajaran Ulama NU yang tergabung dalam NU Garis Lurus, meluruskan “Fatwa Dadakan” soal shalat Jum’at di jalan. Dikutip dari laman nugarislurus.com dengan judul : “Meluruskan Fiqih PBNU: Sholat Jum’at di Jalan Sah dan Boleh Jika Darurat”, Redaksi nugarislurus.com menyatakan :
NU Online melalui situs resminya mencoba menggiring opini bahwa aksi bela Islam jilid III yang rencananya nanti terpaksa digelar di jalan raya adalah tidak sah. Padahal panitia pelaksana sudah menyatakan bahwa shalat Jum’at terpaksa dilakukan di jalan raya menuju bundaran HI  karena masjid di Jakarta tidak muat menampung massa yang mencapai jutaan. Bahkan masjid terbesar se-Asia Tenggara yaitu Istiqlal dengan empat lantai juga meluber ke jalanan. Dengan kesan penggembosan, NU Online memuat tulisan pendiri JIL (Jaringan Islam Liberal) Dr. Abdul Moqsith Ghazali yang sekarang ini masuk jajaran struktural penting di lembaga Bahtsul Masail PBNU Pimpinan Prof. Said Aqil Siraj.
Berikut tanggapan dari komandan nasional NU Garis Lurus KH. M. Luthfi Rochman, yang dikutip dari akun pribadinya atas ngawurnya pernyataan Dr. Abdul Moqsith Ghazali yang membawa nama PBNU. Dalam website resmi NU Online http://www.nu.or.id/post/read/73131/ini-pandangan-fiqih-pbnu-soal-shalat-jumat-di-jalanan
Tokoh liberal pendiri JIL yang menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU keliru memahami isyarat Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ sehingga mengambil kesimpulan sebagai berikut : “Madzhab Syafi’i di dalam kitab al-Majmu’ karya Imam An-Nawawi menegaskan bahwa shalat Jumat ini disyaratkan dilakukan di dalam sebuah bangunan meskipun terbuat dari batu, kayu, dan bahan material lain. Karenanya tidak sah melakukan ibadah Jumat di jalanan. Karena tidak sah, maka shalat Jumat nya harus diulang dengan melakukan shalat Zhuhur.
Berikut kurang lebih keterangan dari kitab Majmu’ : “Berkata sebagian ashab kami dari mazhab Syafi’i bahwa shalat Jumat tidak disyaratkan di dalam masjid tetapi boleh di lapangan terbuka dengan syarat lapangan atau tempat terbuka itu ada di dalam desa atau daerah negara yang sudah ditetapkan batas-batas wilayahnya“. (Majmu’ Syarah Muhadzzab, juz 4/334).
Jadi Dr. Abdul Moqsith Ghazali keliru memahami maksud Jum’at “diantara bangunan” bukan di dalam ruangan bangunan. Adapun konteks masalahnya shalat Jum’at di jalanan hukum asalnya adalah haram. Namun hukum haram bisa berubah boleh dalam keadaan darurat misalnya masjid sudah tidak muat dan tidak cukup untuk menampung jama’ah. Sesuai kaidah fiqih : “Darurat memperbolehkan sesuatu yang dilarang“.
Shalat Jum’at di Jalan Raya : BUKAN BID’AH
Mayoritas ulama madzhab (Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah) berpendapat, bahwa shalat Jum’at tidak harus dilakukan di masjid. Shalat Jum’at boleh dilakukan di luar masjid, termasuk jalanan. Zainudin al-‘Iraqi, ulama Syafi’iyah, (w. 806 H) mengatakan : “Madzhab kami (madzhab Syafi’iyah), pelaksanaan shalat Jum’at tidak harus di masjid, namun dilaksanakan di semua lokasi yang tertutup bangunan“. (Lihat, Tharh at-Tatsrib fii Syarh at-Taqrib, III:173).
Sementara al-Mardawi, ulama Hanabali (w. 885 H), mengatakan : “Boleh mengadakan shalat Jum’at di satu tempat yang terkepung beberapa bangunan, jika wilayah shalat Jum’at itu masih satu area, dan boleh juga dilakukan di tanah lapang dekat bangunan pemukiman“. (Lihat, al-Inshaf, IV:23)
Ibnu Qudamah menjelaskan : “Keabsahan shalat Jum’at tidak disyaratkan harus dilakukan di antara bangunan. Dan boleh juga dilaksanakan di tanah lapang yang dekat bangunan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah“. (Lihat, al-Mughni fii Fiqh al- Imam Ahmad, IV:170).
Berbagai pendapat ulama madzhab di atas menunjukan bahwa shalat Jum’at tidak diharuskan untuk dilakukan di masjid. Sehingga shalat Jum’at yang dilaksanakan di luar masjid, termasuk di jalan yang dikelilingi dengan gedung-gedung di sekitarnya, hukumnya sah. Jadi, himbuan bahkan larangan shalat Jum’at di jalanan bisa jadi berstatus bid’ah, karena tidak memiliki pijakan ilmiah sesuai petunjuk Al-Qur’an dan Sunah.

Wallahu a’lam bishshawab

penyunting : Agus Salim

No comments