RESOLUSI INFAK
Sudah menjadi hal biasa, saat menjelang pergantian tahun masehi sebagian besar masyarakat membuat perencanaan target atau yang biasa disebut resolusi. Ada yang berimpian menikah, memiliki anak, memiliki rumah, naik pangkat, punya kendaraan baru, dan lain-lain. Intinya, resolusi yang dibuat adalah menciptakan kehidupan yang lebih baik dari tahun sebelumnya.
Namun, realitasnya, resolusi yang ditetapkan kebanyakan bersifat keduniaan, kebendaan dan materi (materialistik). Sedikit sekali yang menetapkan resolusi keakhiratan. Misalnya, tahun depan infak naik 20%, tahun depan berangkat umrah, tahun depan shaum sunat lebih ditingkatkan, tahun depan lebih giat hadir di pengajian, dst.. Padahal, sejatinya sebagai seorang muslim, hal ini sangat fundamental untuk ditetapkan dalam perencanaan. Karena, perencanaan amal saleh merupakan ajaran yang Nabi sampaikan melalui lisan dan perbuatannya, baik secara eksplisit (tersurat dalam nash hadits) maupun secara implisit (tersirat, mafhum).
Kenapa mesti membuat resolusi keakhiratan yang lebih meningkat? Diungkapan dalam sebuah nasehat: “Siapa yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin, maka ia adalah rabihun (orang beruntung). Siapa orang yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia adalah maghbunun (tertipu). Dan, siapa yang hari ini lebih buruk daripada hari kemarin, maka ia adalah mal’unun (terlaknat).”
Dengan demikian, membuat daftar target atau resolusi merupakan hal yang niscaya dalam Islam: resolusi harian, mingguan, bulanan, tahunan, dst.. Karena, sangat jelas dalam ungkapan tersebut hanya ada tiga kelompok dalam kualitas amalnya: rabihun (beruntung), maghbunun (tertipu), dan mal’unun (terlaknat).
Nah, salah satu resolusi keakhiratan yang mesti kita buat terkait bab maliyah atau harta benda. Lebih spesifik dalam hal ini adalah terkait infak dan sedekah. Tetapkan, apakah infak tahun depan stagnan (tetap), atau mau ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Itu merupakan pilihan. Dan, untuk mewujudkannya sangat memerlukan mentalitas yang mapan.
Loh kok mentalitas, bukannya kemapanan finansial?
Ya! Karena, untuk bisa berinfak, sebenarnya yang sangat kuat adalah mental. Banyak orang kaya, mapan ekonomi, tinggi strata sosialnya, tetapi ia “ngeupeul” dalam hal infak.
Oke lah, zakat ia keluarkan sesuai tuntunan, tetapi di samping zakat ada hal lain yang juga tidak kalah pentingnya, yaitu infak.
Masih ingatkah bahwa orang berzakat, ia belum dipandang dermawan, karena zakat adalah kewajiban. Barulah orang bisa dikatakan dermawan, jika selain berzakat ia pun berinfak. Karena, infak hukumnya tidak seperti zakat, infak adalah harta hak diri yang diserahkan kepada orang lain. Dan, memberikan hak diri untuk orang lain tidak bisa dilakukan oleh orang yang mentalnya miskin. Sebaliknya, banyak orang yang secara finansial kurang mapan, tetapi ia memiliki mentalitas kaya. Ia rutin berinfak di pengajian, di jalan, langsung kepada pengemis, dll..
Ya memang sih jumlah infaknya sedikit, tetapi itu sudah menggambarkan betapa kayanya hati si munfik ini. Dan, menurut para ulama, kaya hati (ghinan-nafs) bisa berujung pada kekayaan secara lahiriyah atau materialistik.
Kembali ke permasalahan awal, mari kita membuat resolusi untuk tahun depan secara rasional, measurable (terukur), dan penuh optimisme. Dan, satu di antara resolusi terbaik yang mesti ditetapkan adalah terkait maliyah: resolusi infak.
Berapa persen infak yang akan kita salurkan di tahun ini: apakah stagnan (tetap) ataukah ada peningkatan? Mari ukur oleh kita masing-masing, lalu tetapkan. In syaa Allah bisa!
Dan, jika Anda hendak berifak, mari salurkan kepada Pusat Zakat Umat (PZU) Unit Cihideung. Bisa langsung ke kantor kami, jemput infak atau via no. rekening yang tertera di lembaran ini.
Oleh: Yusuf Awaluddin | ed. 90. th. V, 1 Jan
No comments